Kamis, 12 Februari 2015

Sejarah Kerajaan Berau


Dalam sejarah Nasional uraian daerah tentang Kalimantan Timur sangatlah minim. Bahkan hampir-hampir tidak tertulis. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor letak geografis.
            Daerah Kalimantan Timur tidak terletak pada lintas perdagangan antara Asia dan Eropa, sehingga jarang disinggahi para pedagang. Dengan demikian komunikasi dengan pedagang dengan pendatang dari jalur luar jarang terjadi dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
            Jarangnya terjadi hubungan dengan luar maupun faktor penyebab Kalimantan Timur masa lalu hampir tidak tersentuh sejarah. Sektor perdagangan pada masa lalu berkisar pada perdagangan komoditas perkebunan dan hasil bumi sedangkan potensi kalimantan Timur tidak menarik pedagang. Berbeda dengan pulau-pulau lain seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, serta Maluku. Kurangnya hubungan dengan Bangsa-bangsa lain itu akibatnya sejarah Kalimantan Timur termasuk daerah Berau, tidak termasuk dalam Sejarah Nasional.
            Daerah Berau mulai memasuki sejarahnya, yakni pada zaman Islam, sedangkan zaman-zaman sebelumnya hingga kini belum terungkap dalam sejarah.
            Sajak abad ke 13 di daerah Berau telah sejak lama terdapat pemukiman penduduk. Bagi masyarakat disini pusat-pusat pemukiman tersebut, dinamakan “banua”[1].
            Istilah Banua dapat dibandingkan dengan “polis” pada zaman Yunani Kuno di Eropa. Pusat-pusat permukiman disebut polis. Setiap polis dengan sistem kehidupan masing-masing dan dipimpin oleh seorang kepala Polis.
            Di Berau pun setiap Banua dipimpin oleh seorang kepala adat atau kepala suku yangbertindak sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin adat dan agama.
            Sejak awal abad ke 14 ada 7 banua besar yang masing-masing disebut Banua Marancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Bulalung, Banua Lati, Banua Sewakung dan Banua Bunyut.
            Banua Marancang dipimpin oleh Ranggasari Buana, Banua Pantai dipimpin oleh Rangga Batara, Banua Bulalung oleh Angka Yuda, Banua Lati dipimpin oleh Inni Baritu, Banua Sewakung Kahar Janggi, dan Banua Bunyut dipimpin oleh Jaya Pati.
Pada perkembangan berikutnya ke 7 banua sepakat untuk menyatukan wilayahnya dibawah pimpinan seoranga raja.
Atas dasar musyawarah diangkat Baddit Dipattung sebagai raja yang pertama dan pusat pemerintahnnya di Banua Lati.
Sebagai raja diberi gelar Aji Surya Natakesuma, dan permaisurinya Baddit Dikurindam bergelar Aji Permaisuri. Aji surya Natakesuma menyatukan 7 Banua tersebut dalam kekuasanya dan selanjutnya dikenal dengan Kerajaan Berau.
Aji Surya Natakesuma menjadi raja selama 32 tahun, yakni 1400-1432, dan pusat pemerintahannya di wilayah Lati atau ulok atau di Sungai Pangauan.
Kehidupan penduduk waktu itu pada umumnya sebagai petani dan nelayan serta eksploitasi hutan.
Sektor perdagangan telah berjalan antara rakyat setempat dengan pedagang-pedagang dari Sulawesi dan pulau-pulau suku Philipina Selatan. Perdagangan dilaksanakan dengan sistem barter (tukar-menukar) barang.
Aji Surya Natakesuma wafat tahun 1432 dan digantikan oleh putranya si Kelana yang bergelar Aji Nikullam sebagai raja Berau yang ke 2 dan memerintah  selama 29 tahun dari tahun 1432-1461.
Sebagaimana tradisi kerajaan pada umumnya maka putra raja yang berkuasa secara langsung mempunyai peluang untuk menjadi raja berikutnya sebgai pengganti ayahandanya apabila mangkat (meninggal dunia) atau sudah tidak mampu lagi menjalankan roda pemerintahan karena sakit atau sudah tua. Oleh sebab itu Aji Nikullam sebagai raja Berau yang ke 2 digantikan oleh anaknya yang bernama Si Kutak yang diberi gelar Aji Nikutak.
Raja Berau yang ke 3 si Kutak putra Aji Nikullum bergelar Aji Nikutak. Raja ini sempat berkuasa selama 31 tahun sejak tahun 1461 samapai tahun 1492 yang kemudian oleh putranya bernama si Gaddang.
Si Gaddang diangkat sebagai raja ke 4 diberi gelar Aji Nigandang. Sejarah menyebutkan bahwa Aji Nigandang sebagai raja ke 4  memerintah selama 38 tahun yaitu sejak  tahun 1492 hingga berakhir pada tahun 1530.
Raja yang ke-5 yang memerintah kerajaan Berau adalah Aji Panjang Ruma selama 27 tahun sejak tahun 1530 sampai beliau mangkat tahun 1557.  Tidak disebutkan dalam sejarah apakah Aji Panjang Ruma sebagai penerus atau anak Aji Nigandang raja ke 4 atau raja sebelumnya.
Setelah raja ke 4 mangkat digantikan oleh putranya yang bergelar Aji Tumanggung Negara sebagai raja yang ke 6 memerintah selama 32 tahun sejak tahun 1557 sampai tahun 1589. Pada masa pemerintahan kerajaan Berau semakin bertambah dan diperluas, yang meliputi wilayah daerah Berau sekarang yakni ke Selatan sampai ke Tanjung Mangkaliat. Bahkan di bagian utara sampai ke wilayah  Kinabatangan Malaysia Timur atau daerah Sabah terus menyebar ke wilayah Bulungan sekarang. Pada zaman itu Bulungan masih bersatu di bawah kepemimpinan Kerajaan Berau sampaitahun 1800, kemudian memisahkan diri.
Sebagai raja ke 7 yang memerintah kerajaan Berau adalah Aji Sura Raja yang diangkat menggantikan Aji Temanggung Negara yang wafat pada tahun 1623. Aji Sura Raja memerintah selama 34 tahun sejak tahun 1589 sampai tahun 1623.
Setelah Aji Sura Raja berakhir memerintah selanjutnya digantikan raja ke-8 yaitu Aji Surya Balindung yang memerintah selama 21 tahun sejak tahun 1623 samapi tahun 1644.
Aji dilayas adalah raja ke 9 yang memerintah dikerajaan Berau menggantikan Aji Surya Balindung. Dari permaisuri yang pertama Aji Dilayas  memperoleh anak laki-laki yang  bernama si Amir yang selanjutnya diberi gelar Aji Pengeran Tua. Karena permaisurinya yang pertama wafat Aji Dilayas menikah lagi dengan Ratu Agung dan dikaruniai seorang putra yang bernama Hasan yang selanjutnya diberi gelar Aji Pangeran Dipati.
Permasalahan muncul setelah Aji Dilayas wafat karena kedua putra beliau  masing-masing ingin jadi raja menggantikan ayahandanya. Baik Aji Pangeran Tua maupun Aji Pangeran Dipati sama-sama ingin menduduki tahta kerajaan. Kalangan Bangsawan, Wajir, punggawa, magkubumi dan para menteri bersama-sama rakyat bermusyawarah mencari jalan keluar mengakhiri masalah tersebut. Hasil musyawarah dan mufakat diperoleh kesepakatan bahwa wilayah Kerajaan Berau dibagi menjadi dua daerah kekuasaan masing-masing sebagi berikut:
1.      Aji Pangeran Tua menguasai daerah sebelah selatan sungai Kuran atau sungai Berau menuju hulu sampai wilayah kiri kanan sungai Kelay.
2.      Aji pangeran Dipatimenguasai wilayah sebelah utara sungai Kuran menuju ke hulu samapai wilayah kiri dan kanan sungai Segah.
Hasil musyawarah kerajaan diwujudkan seperti dibawah ini:
·         Aji Pangeran Tua dinobatkan menjadi raja yang ke 10 pada tahun 1673. Sedangkan Aji Pangeran Dipati sebagai Mangkubumi. Aji Pangeran Tua memerintah samapai tahun 1700.
·         Periode selanjutnya Aji Pangeran Dipati menjadi raja Berau yang ke-11. Pemerintahannya sejak tahun 1700 sampai tahun1731. Sedangkan Hasanuddin Putra Aji Pangeran Tua diangkat menjadi Raja Muda.
·         Aji Pangeran Dipati mengundurkan diri, teatapi yang diangkat menjadi raja selanjutnya bukan hasanuddin melainkan putra Aji Pangeran Dipati Aji Kuning sebagai raja ke 12.
            Perpecahan mulai terjadi karena Aji pangeran Dipati sudah ingkar janji dengan mengangkat putranya sendiri menggantikan beliau menjadi raja. Setelah Aji Kuning mangkat baru Hsanuddin diangkat menjadi raja dengan sebutan Sultan Hasanuddin sebagai raja ke XIII yang memerintah sampai tahun 1767.
            Sultan Hasanuddin beristeri seorang putri Solok Philipina Selatan yang bernama Dayang lama dan dikarunia 3 orang putra yaitu: Datu  Amiril Mukminin, Datu Syaifuddin dan Datu Djamaluddin. Dua diantara putra Sultan hasanuddin ikut ibunya yaitu Datu Syifuddin dan Datu Djamaluddin sedangkan Datu Amiril Mukminin menetap di Berau bersama ayahandanya.
            Dari pernikahan Datu Amiril Mukminin lahir seorang putri yang bernama Pangian Manjannai dan seorang putra yang bernama Aminuddin Raja Alam.
            Sultan Hasanuddinn mangkat adalah Sultan Zainal Abidin yang beristerikan seorang  putri Kesultanan Pamarangan (Jembayan) Kutai Kartanegara yang bernama Aji Galu.
            Pada awal masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin yang berpusat di Marancang beliau menggalakkan  pengetahuan agama Islam , dibawah pimpinan Imam Tabrani dan Imam Mustafa. Imam Tabrani menjabat sebagai Penghulu. Pada waktu itu hukum agama Islam dijadikan dasar hukum kerajaan.
            Undang-undang kerajaan dibentuk dan disebut “Pematang Ammas”. Lambang budaya kebesaran kerajaan antar lain : Panji Kuning, Sambulayang, Sapu Air, Panji Bapampang, Taddung Malili, Tumbak Badiri dan Baddil Kuning.
            Bidang usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan hasil hutan  sudah dikenal seperti rotan, damar, getah, kalapiai dan lain-lain adalah merupakan usaha pokok masyarakat pada waktu itu. Hasil bumi selain  diperdagangkan untuk keperluan lokal juga sudah dikenal perdagangan keluar negeri melalui hubungan dengan orang-orang dari solok, Brunai dan Philipina yang berdatangan untuk berdagang dengan rakyat Berau.
            Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin sitem pemerintahan mulai ditata dengan baik. Untuk membantu kepemimpinannya pengangkatan pegawai istana secra formal dilakukan dengan mengangkat jabatan menteri, hulubalang, mangkubumi, wajir dan punggawa.
            Pemindahan pusat kerajaan ke Muara bangun juga dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin karena kawasan ini sangat subur sehingga masyarkat bisa bertani dan memperoleh lahan pertanian yang bisa memberikan hasil memuaskan. Di pusat Pemerintahan Kerajaan yang baru ini juga dibangun pula masjid dan pemakaman Sultan beserta keluarganya di dekat istana tersebut.
            Berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Sultan  Zainal Abidin maka orang-orang Solok yang menetap di Banua Berau ini diijinkan mendirikan kampung di Tabbangan sementara orang-orang Tidung dari Bulungan membuat kampung di Pariban.
            Masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin berakhir pada tahun 1800. Ketika beliau wafat Sultan Zainal Abidin  dimakamkan di kompleks pemakaman dekat masjid yang dibangun pada masa pemerintahannya  di Muara bangun  dan Selanjutnya disebut Marhum di Bangun. Makam beliau dikeramatkan dan sering diziarahi.
            Pengangkatan Sultan Badaruddin dari keturunan Pangeran Dipati menjadi raja yang ke-15 membuat keturunan Pangeran Tua tersinggung, karena seharusnya yang menjadi raja berimkutnya adalah dari keturunan Pangeran Tua.
            Atas kesepakatan pihak Pangeran Tua mereka memisahkan diri dan kemudian mengangkat raja sendiri dari keturunan mereka. Sebagi raja pertama diangkat Aminuddin sebagai Sultan dengan gelar Raja Alam pada tahun 1810.
            Raja Alam memerintah selama 42 tahun sejak tahun 1810-1852. Permaisurinya adalah Andi Mantu putri Sultan Wajo dari Sulawesi Selatan. Selama pemerintahannya Raja Alam membangun Istana di Wilayah Gayam Tanjung Redeb yang berseberangan dengan pusat kerajaan Gunung Tabur. Adapun  Raja Kerajaan Gunung Tabur pada saat itu diperintah oleh Sultan Badaruddin. Sejak diperintah oleh Raja Alam, kerajaan Berau secara resmi  terbagi menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan kesultanan Sambaliung.





[1] Drs. H. Achmad Maulana,Sejarah Daerah Berau, Tanjung redeb, 2001, hal. 4



(Sumber: Maulana, Achmad. 2001.Sejarah Daerah Berau. Tanjung Redeb)


Minggu, 11 Januari 2015

Padang Loang

Padang Loang  adalah salah satu tempat yang terdapat di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan teatnya berada di kecamatan Mallawa. Tampat ini begitu indah, belum tersentuh oleh pecinta alam, bisa dikata tempat ini masih orisinil belum diganngu oleh tangan jahil manusia. Tempat ini juga dijadikan sebagai tempat untuk melakukan upacara adat masyarakat sekitar.
Padang Loang dalam bahasa bugis berarti padang yang luas, benar saja padang ini merupakan padang yang cukup luas namun yang uniknya untuk mencapai Padang Loang ini  kita harus mendaki terlebih dahulu. Meski medannya tak begitu terjal, ya tetap saja mendaki namanya karena berada di atas ketinggian tertentu. Tetapi jika tidak ingin mendaki kita bisa mengendarai Motor untuk samapi ditempat ini. tetapi jangan salah, jalanan yang dilalui berbatu-batu dan hanya cocok untuk pejalan kaki sebenarnya.
Saya bersama 3 orang teman sekelas saya dan ditemani   3 warga sekitar melakukan camping di tempat ini tidak lama hanya satu  malam saja. Walaupun persiapan kami tak terlau lengkap tapi kami mampu bertahan selama satu malam udaranya begitu dingin dan kami tidur tanpa menggunakan sleeping bag. Bisa dibayngkan betapa dinginnya *brrrr
Penderitaan semalam kemudian terbayarkan oleh indahnya pemandangan pagi padang loang, tempat ini seperti di Afrika padang yang luas dan dan kering.







Sabtu, 10 Mei 2014

Gerakan Pembaharuan Wahabi

A. Latar Belakang Munculnya Wahabi

            Nama Aliran Wahabi diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam.
            Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya.
            Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya.
            Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama’ besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat:
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’dham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.
            Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)
            Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?? Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan” Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu person pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja
yang muslim. Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa.
Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu. Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya.
            Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama2 besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh.
            Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata :“Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali. Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya.
Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah.
            Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.
Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut.
            Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali.
            Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global.
Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi’i yang sudah mapan.
            Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur.
Demikian juga kubah di atas tanah Nabi SAW dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta.


Muhammad Ibn Abd. Wahab nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Abd. Wahab Sulaiman Al-Tamimiy. Ia dilahirkan pada Tahun 1115 H/1703 M di Al-Uyainat daerah Najd Saudi Arabia. Ia mulai belajar agama pada ayahnya sendiri, kemudian menuntut ilmu ke Madinah dan berguru kepada beberapa Syaikh di antaranya Syaikh Sulaiman Al-Khurdi, Muhammad Al-Hayyat Al-Sind, Abdullah ibn Ibrahim, Syaikh Ali Affandy Al-Daghistani Muhammad Ibn Abd. Wahab yang dikenal dengan gerakan wahabiahnya. Gerakan tersebut lahir bukan sebagai kemajuan Barat, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang dianut oleh kebiasaan-kebiasaan yang timbul di bawah pengaruh tarekat-tarekat seperti pujaan dan kepatuhan yang berlebihan pada syaikh-syaikh tarekat, ziarah ke kuburan-kuburan wali dengan maksud meminta safaat atau pertolongan dari mereka dan sebagainya.
Pada waktu di negeri Basrah, Muhammad Bin Abdul Wahab mulai mengajak masyarakat kepada bertauhid yang sebenarnya. Akan tetapi, kemudian diantara penduduk negeri itu memberontaknya sehingga pada suatu saat dikeluarkan dari Basrah dan ini merupakan kesulitan pertama bagi hidupnya. Kesulitan lain, setelah itu menuju ke negeri Ikhsa’, kemudian kembali ke Nadj, tinggal bersama orang tuanya di (Harimla). Disana ia menyebarluaskan dasar-dasar ketauhidan, menyerukan kepada kemurnian beribadah kepada Allah semata-mata, dan memberantas segala kemungkaran. Akan tetapi, para raja (Harimla) merasa tidak senang. Mereka berunding untuk membunuhnya. Namun, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab telah mengetahui maksud jahat mereka itu.
Kemudian, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab hijrah ke negeri Uyainah. Amir Uyainah, Utsman bin Ma’mar, menyambut kedatangannya dengan sambutan yang hangat dan bersepakat atas penyebaran dakwah Islamiyah. Selanjutnya, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan Amir meruntuhkan dan membongkar kubah-kubah dan masjid-masjid yang didirikan di atas kuburan para sahabat. Merekapun menebang pohon-pohon yang diagung-agungkan atau dikeramatkan orang.
Berita tentang hal tersebut telah sampai kepada Sulaiman bin Muhammad selaku Amir di Ikhsa’ maka ia menulis kepada Utsman agar segera membunuh atau mengeluarkan Syekh Abdul Wahab dari negeri itu. Dengan demikian, Utsman meminta agar Syekh Abdul Wahab segera meninggalkan negeri Uyainah.
Nasib akhirnya menggariskan Muhammad bin Abdul Wahab kembali ke kampong halamannya di Uyainah. Delapan bulan ia melakukan meditasi sebelum memulai gerakan dakwahnya. Setelah dianggap cukup, ia mulai menyosialisasikan konsep dan doktrin-doktrinnya (sebagaimana terdapat dalam buku Tauhid yang ditulisnya) secara luas.


Sebelum Syekh Muhammad bin Abdul Wahab muncul, keadaan kaum Muslim di Jazirah Arab sangat memprihatinkan. Baik dalam segi akidah maupun peribadatan, sudah tidak lagi sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya, bahkan kembali kepada karakter jahiliyah. Mereka telah dilanda bid’ah dan khurafat.
Ada dua inti ajaran Wahabi, yaitu pertama kembali kepada ajaran yang asli, maksudnya adalah ajaran islam yang dianut dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw, sahabat, dan para tabi’in, dan kedua prinsip yang berhubungan dengan tauhid.
Menurutnya, Allah swt semata-mata pembuat syariat dan akidah. Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak dapat dijadikan hujah dalam agama, selain kalamullah dan Rasulullah.
Dari pandangan dan pemikiran Ibn Taimiyah, yang memberikan nuansa bagi gerakan pembaruan Muhammad bin Abdul Wahab adalah sebagai berikut:
1.      Ibn Taimiyah membangun pemikiran fiqhnya di atas dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan pandangan golongan salaf ash-shalih. Ia bersandar pada Sunnah Muhammad dalam memberikan syarah terhadap Al-Qur’an. Tidak mengikuti siapapun, kecuali kepada golongan salaf ash-shalih.
Dalam hal ini ia mengatakan,”Petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah terhadap ajaran pokok agama tidak sekadar berita, sebagaimana pandangan golongan ghalat, tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan petunjuk dan burhan bagi umat Islam, sekaligus merupakan dalil-dalil yang tegas mengenal pokok ajaran.”
2.      Ibn Taimiyah mempunyai perhatian yang begitu besar terhadap persoalan Tauhid dan sangat tegas dalam hal tersebut. Ia berpendapat bahwa keesaan Allah mencakup keesaan Zat dan Sifat, begitu juga dalam (keesaan) ibadah. Berkenaan dengan keesaan ibadah ini, ia menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menyekutukan-Nya. Ia juga menegaskan barangsiapa yang berdoa kepada Allah melalui perantaraan makhluk-Nya atau bersumpah atau bernadzar untuk-Nya, ia dianggap melakukan bid’ah terhadap ajaran Allah yang hak.
Berdasarkan hal tersebut, ia melarang untuk bertakarrub kepada Allah dengan perantaraan para wali atau orang-orang shaleh dan bertawasul kepada orang-orang yang sudah meninggal. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Saw.,”Sesungguhnya tidak ada permintaan kepadaku, tetapi hanya kepada Allahlah keselamatan itu diminta.” Menurutnya, meminta doa keselamatan kepada para nabi dan orang-orang shaleh tidak pernah dilakukan oleh kaum salah shaleh dan itu menjurus pada kemusyrikan. Tetapi lain halnya dengan yang masih hidup, meminta doa keselamatan kepadanya bukanlah suatu kemusyrikan.
3.      Ibn Taimiyah cenderung meninggalkan sikap berlebihan dalam cara-cara mengagungkan Rasulullah (seperti melalui pembacaan shalawat), tetapi cukup baginya mengambil petunjuk dari ajarannya. Ia memperbolehkan berziarah ke kuburan sebab ziarah kubur diperbolehkan bila dengan tujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, tetapi bila dengan tujuan meminta-minta keselamatan atau sejenisnya, tentu kemusyrikan yang nyata.
Ajaran Wahhabi terutama didasarkan atas ajaran Ibn Taimiya dan mazhab Hambali. Prinsip-prinsip dasarnya adalah:
      1)      Ketuhanan Yang Esa yang mutlak (kemudian penganutnya menyebut dirinya dengan nama “Mowahhidin”).
      2)      Kembali pada ajaran Islam yang sejati, seperti termaktub dalam Qur’an dan Hadits.
      3)      Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti sembahyang dan pemberian amal.
      4)      Percaya bahwa Al-Qur’an itu bukan ciptaan manusia.
      5)      Kepercayaan yang nyata terhadap Al-Qur’an dan Hadis.
      6)      Percaya akan takdir.
      7)      Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar, dan
      8)      Mendirikan Negara Islam berdasarkan hokum Islam secara eksklusif.
Secara Global, pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dalam bidang fiqh dan akidah adalah sebagai berikut:
      a.       Bidang Fiqh
Muhammad bin Abdul Wahab bersandar pada kitab, As-Sunnah, dan mengikuti kaum salaf as-saleh dalam mazhab fiqhnya, sedangkan beberapa masalah furu’ lainnya mengikuti mazhab Ibn Hambal. Akan tetapi, bila mendapatkan hadis yang lainnya dianggap shahih, ia berpegang pada hadis tersebut dan meninggalkan pendapat Ibn Hambal.
Mengenai keterkaitan pemikirannya dengan pemikiran Ibn Taimiyah dan Ibnul Qayyim, ia mengatakan,”Kedua imam itu adalah imam yang hak dari kalangan ahli sunnah. Kitab-kitab mereka adalah kitab-kitab yang agung. Namun, kami tidak mesti mengikutinya semuanya dalam semua masalah”.
      b.      Bidang Akidah
Dalam bidang Akidah, Muhammad bin Abdul Wahab mengikuti golongan salaf, yaitu dengan mengakui dan mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana tertera di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis shahih tanpa bagaimana (bila kaifa), dalam hal ini ia mengikuti pendapat Ibn Taimiyah bahwa mazhab salaf dan imam-imamnya adalah bmengimani sifat-sifat Allah sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, tanpa perubahan atau penafsiran arti teks yang ada, dan tanpa bagaimana menerima apa adanya makna teks tersebut, tanpa menyifatinya dengan sifat-sifat yang mirip dengan sifat makhluk-Nya sebab Allah tidak mirip atau menyerupai dengan siapapun, baik dalam zat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
      c.       Bidang Tauhid
Mengenal persoalan Tauhid, Ustadz Mas’ud An-Nadwi mengatakan “Syekh Muhammad bin Abdul Wahab sangat memerhatikan masalah tauhid, baik dalam tulisan-tulisannya maupun tabligh-tablighnya, syiarnya adalah kalimatLa Ilaha Illa Allah. Dimana-mana menjelaskan hal tersebut dan menjelaskan maknanya yang benar. Oleh karena itu, gerakan dakwahnyadisebut dengan gerakan pemurnian tauhid.
Berdasarkan pandangan ketauhidannya yang demikian itu, ia melihat beberapa hal yang diidentifikasikan bisa membawa pada kemusyrikan dan menjauhkan dari ketauhidan, yaitu:
      1.      Berdoa kepada selain Allah untuk suatu hajat, atau berdoa kepada Allah sekaligus kepada selain-Nya.
      2.      Bertawassul kepada para Nabi dan orang-orang shaleh untuk bertaqarrub kepada Allah.
      3.      Meminta perlindungan kepada makhluk.
      4.      Bersumpah atau bernadzar kepada selain Allah.
      5.      Berziarah kubur untuk mengharap doa dan meminta syafaat kepada yang telah bmeninggal.

Secara umum, tujuan gerakan Wahabi adalah mengikis habis segala bentuk takhayul, bid’ah, khurafat, dan bentuk-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam yang dinilainya telah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Dengan berorientasi pada tujuan gerakan demikian itu, ada beberapa hal yang didoktrinkan atau diajarkan dalam praktik gerakan ini, yaitu sebagai berikut:
      1) Semua objek peribadatan selain Allah adalah palsu dan siapa saja yang melakukannya pantas menerima hukuman mati.
      2)      Orang-orang yang berusaha memperoleh kasih Tuhannya dengan cara mengunjungi kuburan orang-orang suci bukanlah orang-orang yang bertauhid, tetapi termasuk orang musyrik.
      3)      Bertawassul kepada Nabi dan orang-orang saleh dalam berdoa kepada Allah termasuk perbuatan musyrik.
      4)      Meminta syafaat kepada selain Allah termasuk perbuatan syirik.
      5)      Bersumpah atau bernadzar kepada manusia, benda, atau kepada selain Allah termasuk perbuatan syirik.
      6)      Termasuk perbuatan kufur bila seseorang mengakui adanya pengetahuan yang dihasulkan melalui kesimpulan-kesimpulan, rasional, dan tidak didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
      7)      Termasuk perbuatan kufur bila seseorang mengingkari ketentuan (kadar) Allah terhadap segala ciptan-Nya.
      8)      Menafsir atau memahami Al-Qur’an dengan ta’wil adalah indikasi ketidakpercayaan (manusia pada ajaran Allah).
Beberapa hal dari ajarannya disinyalir menyimpang dari ajaran Ibnu Hanbal adalah sebagai berikut:
      1.      Shalat harus dengan cara berjamaah
      2.      Merokok tembakau adalah perbuatan yang tidak dibenarkan agama dan pelakunya harus dihukum.
      3.      Zakat mesti dikeluarkan atau dibayarkan untuk profesi yang keuntungannya belum jelas, seperti perdagangan. Padahal Ibnu Hanbal hanya meminta zakat mereka dari harta atau produk yang sudah jelas.













Daftar Pustaka

 Ahmad, Jamil. Seratus Muslim Terkemuka. 1987. Jakarta: Pustaka Firdaus.
            Amin, Husayn Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. 1995. Bandung: PT    Remaja Rosdakarya.
            Hamid, Abdul, dkk. Pemikiran Modern dalam Islam. 2010. Bandung: CV Pustaka Setia.
            Subhani, Syaikh Ja’far. Studi Kritis Faham Wahabi Tauhid dan Syirik. 1994. Bandung:      Mizan.
            Taufik, Akhmad, dkk. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. 2005. Jakarta:     PT RajaGrafindo Persada.

            Hamid, Abdul, dkk. Pemikiran Modern dalam Islam. 2010. Bandung: CV Pustaka Setia.