Kamis, 12 Februari 2015

Sejarah Kerajaan Berau


Dalam sejarah Nasional uraian daerah tentang Kalimantan Timur sangatlah minim. Bahkan hampir-hampir tidak tertulis. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor letak geografis.
            Daerah Kalimantan Timur tidak terletak pada lintas perdagangan antara Asia dan Eropa, sehingga jarang disinggahi para pedagang. Dengan demikian komunikasi dengan pedagang dengan pendatang dari jalur luar jarang terjadi dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
            Jarangnya terjadi hubungan dengan luar maupun faktor penyebab Kalimantan Timur masa lalu hampir tidak tersentuh sejarah. Sektor perdagangan pada masa lalu berkisar pada perdagangan komoditas perkebunan dan hasil bumi sedangkan potensi kalimantan Timur tidak menarik pedagang. Berbeda dengan pulau-pulau lain seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, serta Maluku. Kurangnya hubungan dengan Bangsa-bangsa lain itu akibatnya sejarah Kalimantan Timur termasuk daerah Berau, tidak termasuk dalam Sejarah Nasional.
            Daerah Berau mulai memasuki sejarahnya, yakni pada zaman Islam, sedangkan zaman-zaman sebelumnya hingga kini belum terungkap dalam sejarah.
            Sajak abad ke 13 di daerah Berau telah sejak lama terdapat pemukiman penduduk. Bagi masyarakat disini pusat-pusat pemukiman tersebut, dinamakan “banua”[1].
            Istilah Banua dapat dibandingkan dengan “polis” pada zaman Yunani Kuno di Eropa. Pusat-pusat permukiman disebut polis. Setiap polis dengan sistem kehidupan masing-masing dan dipimpin oleh seorang kepala Polis.
            Di Berau pun setiap Banua dipimpin oleh seorang kepala adat atau kepala suku yangbertindak sebagai pemimpin pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin adat dan agama.
            Sejak awal abad ke 14 ada 7 banua besar yang masing-masing disebut Banua Marancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Bulalung, Banua Lati, Banua Sewakung dan Banua Bunyut.
            Banua Marancang dipimpin oleh Ranggasari Buana, Banua Pantai dipimpin oleh Rangga Batara, Banua Bulalung oleh Angka Yuda, Banua Lati dipimpin oleh Inni Baritu, Banua Sewakung Kahar Janggi, dan Banua Bunyut dipimpin oleh Jaya Pati.
Pada perkembangan berikutnya ke 7 banua sepakat untuk menyatukan wilayahnya dibawah pimpinan seoranga raja.
Atas dasar musyawarah diangkat Baddit Dipattung sebagai raja yang pertama dan pusat pemerintahnnya di Banua Lati.
Sebagai raja diberi gelar Aji Surya Natakesuma, dan permaisurinya Baddit Dikurindam bergelar Aji Permaisuri. Aji surya Natakesuma menyatukan 7 Banua tersebut dalam kekuasanya dan selanjutnya dikenal dengan Kerajaan Berau.
Aji Surya Natakesuma menjadi raja selama 32 tahun, yakni 1400-1432, dan pusat pemerintahannya di wilayah Lati atau ulok atau di Sungai Pangauan.
Kehidupan penduduk waktu itu pada umumnya sebagai petani dan nelayan serta eksploitasi hutan.
Sektor perdagangan telah berjalan antara rakyat setempat dengan pedagang-pedagang dari Sulawesi dan pulau-pulau suku Philipina Selatan. Perdagangan dilaksanakan dengan sistem barter (tukar-menukar) barang.
Aji Surya Natakesuma wafat tahun 1432 dan digantikan oleh putranya si Kelana yang bergelar Aji Nikullam sebagai raja Berau yang ke 2 dan memerintah  selama 29 tahun dari tahun 1432-1461.
Sebagaimana tradisi kerajaan pada umumnya maka putra raja yang berkuasa secara langsung mempunyai peluang untuk menjadi raja berikutnya sebgai pengganti ayahandanya apabila mangkat (meninggal dunia) atau sudah tidak mampu lagi menjalankan roda pemerintahan karena sakit atau sudah tua. Oleh sebab itu Aji Nikullam sebagai raja Berau yang ke 2 digantikan oleh anaknya yang bernama Si Kutak yang diberi gelar Aji Nikutak.
Raja Berau yang ke 3 si Kutak putra Aji Nikullum bergelar Aji Nikutak. Raja ini sempat berkuasa selama 31 tahun sejak tahun 1461 samapai tahun 1492 yang kemudian oleh putranya bernama si Gaddang.
Si Gaddang diangkat sebagai raja ke 4 diberi gelar Aji Nigandang. Sejarah menyebutkan bahwa Aji Nigandang sebagai raja ke 4  memerintah selama 38 tahun yaitu sejak  tahun 1492 hingga berakhir pada tahun 1530.
Raja yang ke-5 yang memerintah kerajaan Berau adalah Aji Panjang Ruma selama 27 tahun sejak tahun 1530 sampai beliau mangkat tahun 1557.  Tidak disebutkan dalam sejarah apakah Aji Panjang Ruma sebagai penerus atau anak Aji Nigandang raja ke 4 atau raja sebelumnya.
Setelah raja ke 4 mangkat digantikan oleh putranya yang bergelar Aji Tumanggung Negara sebagai raja yang ke 6 memerintah selama 32 tahun sejak tahun 1557 sampai tahun 1589. Pada masa pemerintahan kerajaan Berau semakin bertambah dan diperluas, yang meliputi wilayah daerah Berau sekarang yakni ke Selatan sampai ke Tanjung Mangkaliat. Bahkan di bagian utara sampai ke wilayah  Kinabatangan Malaysia Timur atau daerah Sabah terus menyebar ke wilayah Bulungan sekarang. Pada zaman itu Bulungan masih bersatu di bawah kepemimpinan Kerajaan Berau sampaitahun 1800, kemudian memisahkan diri.
Sebagai raja ke 7 yang memerintah kerajaan Berau adalah Aji Sura Raja yang diangkat menggantikan Aji Temanggung Negara yang wafat pada tahun 1623. Aji Sura Raja memerintah selama 34 tahun sejak tahun 1589 sampai tahun 1623.
Setelah Aji Sura Raja berakhir memerintah selanjutnya digantikan raja ke-8 yaitu Aji Surya Balindung yang memerintah selama 21 tahun sejak tahun 1623 samapi tahun 1644.
Aji dilayas adalah raja ke 9 yang memerintah dikerajaan Berau menggantikan Aji Surya Balindung. Dari permaisuri yang pertama Aji Dilayas  memperoleh anak laki-laki yang  bernama si Amir yang selanjutnya diberi gelar Aji Pengeran Tua. Karena permaisurinya yang pertama wafat Aji Dilayas menikah lagi dengan Ratu Agung dan dikaruniai seorang putra yang bernama Hasan yang selanjutnya diberi gelar Aji Pangeran Dipati.
Permasalahan muncul setelah Aji Dilayas wafat karena kedua putra beliau  masing-masing ingin jadi raja menggantikan ayahandanya. Baik Aji Pangeran Tua maupun Aji Pangeran Dipati sama-sama ingin menduduki tahta kerajaan. Kalangan Bangsawan, Wajir, punggawa, magkubumi dan para menteri bersama-sama rakyat bermusyawarah mencari jalan keluar mengakhiri masalah tersebut. Hasil musyawarah dan mufakat diperoleh kesepakatan bahwa wilayah Kerajaan Berau dibagi menjadi dua daerah kekuasaan masing-masing sebagi berikut:
1.      Aji Pangeran Tua menguasai daerah sebelah selatan sungai Kuran atau sungai Berau menuju hulu sampai wilayah kiri kanan sungai Kelay.
2.      Aji pangeran Dipatimenguasai wilayah sebelah utara sungai Kuran menuju ke hulu samapai wilayah kiri dan kanan sungai Segah.
Hasil musyawarah kerajaan diwujudkan seperti dibawah ini:
·         Aji Pangeran Tua dinobatkan menjadi raja yang ke 10 pada tahun 1673. Sedangkan Aji Pangeran Dipati sebagai Mangkubumi. Aji Pangeran Tua memerintah samapai tahun 1700.
·         Periode selanjutnya Aji Pangeran Dipati menjadi raja Berau yang ke-11. Pemerintahannya sejak tahun 1700 sampai tahun1731. Sedangkan Hasanuddin Putra Aji Pangeran Tua diangkat menjadi Raja Muda.
·         Aji Pangeran Dipati mengundurkan diri, teatapi yang diangkat menjadi raja selanjutnya bukan hasanuddin melainkan putra Aji Pangeran Dipati Aji Kuning sebagai raja ke 12.
            Perpecahan mulai terjadi karena Aji pangeran Dipati sudah ingkar janji dengan mengangkat putranya sendiri menggantikan beliau menjadi raja. Setelah Aji Kuning mangkat baru Hsanuddin diangkat menjadi raja dengan sebutan Sultan Hasanuddin sebagai raja ke XIII yang memerintah sampai tahun 1767.
            Sultan Hasanuddin beristeri seorang putri Solok Philipina Selatan yang bernama Dayang lama dan dikarunia 3 orang putra yaitu: Datu  Amiril Mukminin, Datu Syaifuddin dan Datu Djamaluddin. Dua diantara putra Sultan hasanuddin ikut ibunya yaitu Datu Syifuddin dan Datu Djamaluddin sedangkan Datu Amiril Mukminin menetap di Berau bersama ayahandanya.
            Dari pernikahan Datu Amiril Mukminin lahir seorang putri yang bernama Pangian Manjannai dan seorang putra yang bernama Aminuddin Raja Alam.
            Sultan Hasanuddinn mangkat adalah Sultan Zainal Abidin yang beristerikan seorang  putri Kesultanan Pamarangan (Jembayan) Kutai Kartanegara yang bernama Aji Galu.
            Pada awal masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin yang berpusat di Marancang beliau menggalakkan  pengetahuan agama Islam , dibawah pimpinan Imam Tabrani dan Imam Mustafa. Imam Tabrani menjabat sebagai Penghulu. Pada waktu itu hukum agama Islam dijadikan dasar hukum kerajaan.
            Undang-undang kerajaan dibentuk dan disebut “Pematang Ammas”. Lambang budaya kebesaran kerajaan antar lain : Panji Kuning, Sambulayang, Sapu Air, Panji Bapampang, Taddung Malili, Tumbak Badiri dan Baddil Kuning.
            Bidang usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan hasil hutan  sudah dikenal seperti rotan, damar, getah, kalapiai dan lain-lain adalah merupakan usaha pokok masyarakat pada waktu itu. Hasil bumi selain  diperdagangkan untuk keperluan lokal juga sudah dikenal perdagangan keluar negeri melalui hubungan dengan orang-orang dari solok, Brunai dan Philipina yang berdatangan untuk berdagang dengan rakyat Berau.
            Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin sitem pemerintahan mulai ditata dengan baik. Untuk membantu kepemimpinannya pengangkatan pegawai istana secra formal dilakukan dengan mengangkat jabatan menteri, hulubalang, mangkubumi, wajir dan punggawa.
            Pemindahan pusat kerajaan ke Muara bangun juga dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin karena kawasan ini sangat subur sehingga masyarkat bisa bertani dan memperoleh lahan pertanian yang bisa memberikan hasil memuaskan. Di pusat Pemerintahan Kerajaan yang baru ini juga dibangun pula masjid dan pemakaman Sultan beserta keluarganya di dekat istana tersebut.
            Berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Sultan  Zainal Abidin maka orang-orang Solok yang menetap di Banua Berau ini diijinkan mendirikan kampung di Tabbangan sementara orang-orang Tidung dari Bulungan membuat kampung di Pariban.
            Masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin berakhir pada tahun 1800. Ketika beliau wafat Sultan Zainal Abidin  dimakamkan di kompleks pemakaman dekat masjid yang dibangun pada masa pemerintahannya  di Muara bangun  dan Selanjutnya disebut Marhum di Bangun. Makam beliau dikeramatkan dan sering diziarahi.
            Pengangkatan Sultan Badaruddin dari keturunan Pangeran Dipati menjadi raja yang ke-15 membuat keturunan Pangeran Tua tersinggung, karena seharusnya yang menjadi raja berimkutnya adalah dari keturunan Pangeran Tua.
            Atas kesepakatan pihak Pangeran Tua mereka memisahkan diri dan kemudian mengangkat raja sendiri dari keturunan mereka. Sebagi raja pertama diangkat Aminuddin sebagai Sultan dengan gelar Raja Alam pada tahun 1810.
            Raja Alam memerintah selama 42 tahun sejak tahun 1810-1852. Permaisurinya adalah Andi Mantu putri Sultan Wajo dari Sulawesi Selatan. Selama pemerintahannya Raja Alam membangun Istana di Wilayah Gayam Tanjung Redeb yang berseberangan dengan pusat kerajaan Gunung Tabur. Adapun  Raja Kerajaan Gunung Tabur pada saat itu diperintah oleh Sultan Badaruddin. Sejak diperintah oleh Raja Alam, kerajaan Berau secara resmi  terbagi menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan kesultanan Sambaliung.





[1] Drs. H. Achmad Maulana,Sejarah Daerah Berau, Tanjung redeb, 2001, hal. 4



(Sumber: Maulana, Achmad. 2001.Sejarah Daerah Berau. Tanjung Redeb)


Minggu, 11 Januari 2015

Padang Loang

Padang Loang  adalah salah satu tempat yang terdapat di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan teatnya berada di kecamatan Mallawa. Tampat ini begitu indah, belum tersentuh oleh pecinta alam, bisa dikata tempat ini masih orisinil belum diganngu oleh tangan jahil manusia. Tempat ini juga dijadikan sebagai tempat untuk melakukan upacara adat masyarakat sekitar.
Padang Loang dalam bahasa bugis berarti padang yang luas, benar saja padang ini merupakan padang yang cukup luas namun yang uniknya untuk mencapai Padang Loang ini  kita harus mendaki terlebih dahulu. Meski medannya tak begitu terjal, ya tetap saja mendaki namanya karena berada di atas ketinggian tertentu. Tetapi jika tidak ingin mendaki kita bisa mengendarai Motor untuk samapi ditempat ini. tetapi jangan salah, jalanan yang dilalui berbatu-batu dan hanya cocok untuk pejalan kaki sebenarnya.
Saya bersama 3 orang teman sekelas saya dan ditemani   3 warga sekitar melakukan camping di tempat ini tidak lama hanya satu  malam saja. Walaupun persiapan kami tak terlau lengkap tapi kami mampu bertahan selama satu malam udaranya begitu dingin dan kami tidur tanpa menggunakan sleeping bag. Bisa dibayngkan betapa dinginnya *brrrr
Penderitaan semalam kemudian terbayarkan oleh indahnya pemandangan pagi padang loang, tempat ini seperti di Afrika padang yang luas dan dan kering.