Dalam sejarah
Nasional uraian daerah tentang Kalimantan Timur sangatlah minim. Bahkan
hampir-hampir tidak tertulis. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor letak
geografis.
Daerah Kalimantan Timur tidak
terletak pada lintas perdagangan antara Asia dan Eropa, sehingga jarang
disinggahi para pedagang. Dengan demikian komunikasi dengan pedagang dengan
pendatang dari jalur luar jarang terjadi dibandingkan dengan daerah-daerah lain
di Indonesia.
Jarangnya terjadi hubungan dengan
luar maupun faktor penyebab Kalimantan Timur masa lalu hampir tidak tersentuh sejarah.
Sektor perdagangan pada masa lalu berkisar pada perdagangan komoditas perkebunan
dan hasil bumi sedangkan potensi kalimantan Timur tidak menarik pedagang. Berbeda
dengan pulau-pulau lain seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, serta Maluku.
Kurangnya hubungan dengan Bangsa-bangsa lain itu akibatnya sejarah Kalimantan
Timur termasuk daerah Berau, tidak termasuk dalam Sejarah Nasional.
Daerah Berau mulai memasuki
sejarahnya, yakni pada zaman Islam, sedangkan zaman-zaman sebelumnya hingga
kini belum terungkap dalam sejarah.
Sajak abad ke 13 di daerah Berau
telah sejak lama terdapat pemukiman penduduk. Bagi masyarakat disini
pusat-pusat pemukiman tersebut, dinamakan “banua”[1].
Istilah Banua dapat dibandingkan
dengan “polis” pada zaman Yunani Kuno di Eropa. Pusat-pusat permukiman disebut
polis. Setiap polis dengan sistem kehidupan masing-masing dan dipimpin oleh
seorang kepala Polis.
Di Berau pun setiap Banua dipimpin
oleh seorang kepala adat atau kepala suku yangbertindak sebagai pemimpin
pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin adat dan agama.
Sejak awal abad ke 14 ada 7 banua
besar yang masing-masing disebut Banua Marancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua
Bulalung, Banua Lati, Banua Sewakung dan Banua Bunyut.
Banua Marancang dipimpin oleh
Ranggasari Buana, Banua Pantai dipimpin oleh Rangga Batara, Banua Bulalung oleh
Angka Yuda, Banua Lati dipimpin oleh Inni Baritu, Banua Sewakung Kahar Janggi,
dan Banua Bunyut dipimpin oleh Jaya Pati.
Pada
perkembangan berikutnya ke 7 banua sepakat untuk menyatukan wilayahnya dibawah
pimpinan seoranga raja.
Atas
dasar musyawarah diangkat Baddit Dipattung sebagai raja yang pertama dan pusat
pemerintahnnya di Banua Lati.
Sebagai
raja diberi gelar Aji Surya Natakesuma, dan permaisurinya Baddit Dikurindam
bergelar Aji Permaisuri. Aji surya Natakesuma menyatukan 7 Banua tersebut dalam
kekuasanya dan selanjutnya dikenal dengan Kerajaan Berau.
Aji
Surya Natakesuma menjadi raja selama 32 tahun, yakni 1400-1432, dan pusat
pemerintahannya di wilayah Lati atau ulok atau di Sungai Pangauan.
Kehidupan
penduduk waktu itu pada umumnya sebagai petani dan nelayan serta eksploitasi
hutan.
Sektor
perdagangan telah berjalan antara rakyat setempat dengan pedagang-pedagang dari
Sulawesi dan pulau-pulau suku Philipina Selatan. Perdagangan dilaksanakan
dengan sistem barter (tukar-menukar) barang.
Aji
Surya Natakesuma wafat tahun 1432 dan digantikan oleh putranya si Kelana yang
bergelar Aji Nikullam sebagai raja Berau yang ke 2 dan memerintah selama 29 tahun dari tahun 1432-1461.
Sebagaimana
tradisi kerajaan pada umumnya maka putra raja yang berkuasa secara langsung
mempunyai peluang untuk menjadi raja berikutnya sebgai pengganti ayahandanya
apabila mangkat (meninggal dunia) atau sudah tidak mampu lagi menjalankan roda
pemerintahan karena sakit atau sudah tua. Oleh sebab itu Aji Nikullam sebagai
raja Berau yang ke 2 digantikan oleh anaknya yang bernama Si Kutak yang diberi
gelar Aji Nikutak.
Raja
Berau yang ke 3 si Kutak putra Aji Nikullum bergelar Aji Nikutak. Raja ini
sempat berkuasa selama 31 tahun sejak tahun 1461 samapai tahun 1492 yang
kemudian oleh putranya bernama si Gaddang.
Si
Gaddang diangkat sebagai raja ke 4 diberi gelar Aji Nigandang. Sejarah
menyebutkan bahwa Aji Nigandang sebagai raja ke 4 memerintah selama 38 tahun yaitu sejak tahun 1492 hingga berakhir pada tahun 1530.
Raja
yang ke-5 yang memerintah kerajaan Berau adalah Aji Panjang Ruma selama 27 tahun
sejak tahun 1530 sampai beliau mangkat tahun 1557. Tidak disebutkan dalam sejarah apakah Aji
Panjang Ruma sebagai penerus atau anak Aji Nigandang raja ke 4 atau raja
sebelumnya.
Setelah
raja ke 4 mangkat digantikan oleh putranya yang bergelar Aji Tumanggung Negara
sebagai raja yang ke 6 memerintah selama 32 tahun sejak tahun 1557 sampai tahun
1589. Pada masa pemerintahan kerajaan Berau semakin bertambah dan diperluas,
yang meliputi wilayah daerah Berau sekarang yakni ke Selatan sampai ke Tanjung
Mangkaliat. Bahkan di bagian utara sampai ke wilayah Kinabatangan Malaysia Timur atau daerah Sabah
terus menyebar ke wilayah Bulungan sekarang. Pada zaman itu Bulungan masih bersatu
di bawah kepemimpinan Kerajaan Berau sampaitahun 1800, kemudian memisahkan
diri.
Sebagai
raja ke 7 yang memerintah kerajaan Berau adalah Aji Sura Raja yang diangkat
menggantikan Aji Temanggung Negara yang wafat pada tahun 1623. Aji Sura Raja
memerintah selama 34 tahun sejak tahun 1589 sampai tahun 1623.
Setelah
Aji Sura Raja berakhir memerintah selanjutnya digantikan raja ke-8 yaitu Aji
Surya Balindung yang memerintah selama 21 tahun sejak tahun 1623 samapi tahun
1644.
Aji
dilayas adalah raja ke 9 yang memerintah dikerajaan Berau menggantikan Aji
Surya Balindung. Dari permaisuri yang pertama Aji Dilayas memperoleh anak laki-laki yang bernama si Amir yang selanjutnya diberi gelar
Aji Pengeran Tua. Karena permaisurinya yang pertama wafat Aji Dilayas menikah
lagi dengan Ratu Agung dan dikaruniai seorang putra yang bernama Hasan yang
selanjutnya diberi gelar Aji Pangeran Dipati.
Permasalahan
muncul setelah Aji Dilayas wafat karena kedua putra beliau masing-masing ingin jadi raja menggantikan
ayahandanya. Baik Aji Pangeran Tua maupun Aji Pangeran Dipati sama-sama ingin
menduduki tahta kerajaan. Kalangan Bangsawan, Wajir, punggawa, magkubumi dan
para menteri bersama-sama rakyat bermusyawarah mencari jalan keluar mengakhiri
masalah tersebut. Hasil musyawarah dan mufakat diperoleh kesepakatan bahwa
wilayah Kerajaan Berau dibagi menjadi dua daerah kekuasaan masing-masing sebagi
berikut:
1. Aji
Pangeran Tua menguasai daerah sebelah selatan sungai Kuran atau sungai Berau
menuju hulu sampai wilayah kiri kanan sungai Kelay.
2. Aji
pangeran Dipatimenguasai wilayah sebelah utara sungai Kuran menuju ke hulu
samapai wilayah kiri dan kanan sungai Segah.
Hasil
musyawarah kerajaan diwujudkan seperti dibawah ini:
·
Aji Pangeran Tua dinobatkan menjadi raja
yang ke 10 pada tahun 1673. Sedangkan Aji Pangeran Dipati sebagai Mangkubumi.
Aji Pangeran Tua memerintah samapai tahun 1700.
·
Periode selanjutnya Aji Pangeran Dipati
menjadi raja Berau yang ke-11. Pemerintahannya sejak tahun 1700 sampai
tahun1731. Sedangkan Hasanuddin Putra Aji Pangeran Tua diangkat menjadi Raja
Muda.
·
Aji Pangeran Dipati mengundurkan diri,
teatapi yang diangkat menjadi raja selanjutnya bukan hasanuddin melainkan putra
Aji Pangeran Dipati Aji Kuning sebagai raja ke 12.
Perpecahan mulai terjadi karena Aji
pangeran Dipati sudah ingkar janji dengan mengangkat putranya sendiri
menggantikan beliau menjadi raja. Setelah Aji Kuning mangkat baru Hsanuddin
diangkat menjadi raja dengan sebutan Sultan Hasanuddin sebagai raja ke XIII
yang memerintah sampai tahun 1767.
Sultan Hasanuddin beristeri seorang
putri Solok Philipina Selatan yang bernama Dayang lama dan dikarunia 3 orang
putra yaitu: Datu Amiril Mukminin, Datu
Syaifuddin dan Datu Djamaluddin. Dua diantara putra Sultan hasanuddin ikut
ibunya yaitu Datu Syifuddin dan Datu Djamaluddin sedangkan Datu Amiril Mukminin
menetap di Berau bersama ayahandanya.
Dari pernikahan Datu Amiril Mukminin
lahir seorang putri yang bernama Pangian Manjannai dan seorang putra yang
bernama Aminuddin Raja Alam.
Sultan Hasanuddinn mangkat adalah
Sultan Zainal Abidin yang beristerikan seorang
putri Kesultanan Pamarangan (Jembayan) Kutai Kartanegara yang bernama
Aji Galu.
Pada awal masa pemerintahan Sultan
Zainal Abidin yang berpusat di Marancang beliau menggalakkan pengetahuan agama Islam , dibawah pimpinan
Imam Tabrani dan Imam Mustafa. Imam Tabrani menjabat sebagai Penghulu. Pada
waktu itu hukum agama Islam dijadikan dasar hukum kerajaan.
Undang-undang kerajaan dibentuk dan
disebut “Pematang Ammas”. Lambang budaya kebesaran kerajaan antar lain : Panji
Kuning, Sambulayang, Sapu Air, Panji Bapampang, Taddung Malili, Tumbak Badiri
dan Baddil Kuning.
Bidang usaha pertanian, perkebunan, perikanan
dan hasil hutan sudah dikenal seperti
rotan, damar, getah, kalapiai dan lain-lain adalah merupakan usaha pokok
masyarakat pada waktu itu. Hasil bumi selain
diperdagangkan untuk keperluan lokal juga sudah dikenal perdagangan
keluar negeri melalui hubungan dengan orang-orang dari solok, Brunai dan
Philipina yang berdatangan untuk berdagang dengan rakyat Berau.
Pada masa pemerintahan Sultan Zainal
Abidin sitem pemerintahan mulai ditata dengan baik. Untuk membantu
kepemimpinannya pengangkatan pegawai istana secra formal dilakukan dengan
mengangkat jabatan menteri, hulubalang, mangkubumi, wajir dan punggawa.
Pemindahan pusat kerajaan ke Muara
bangun juga dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin karena
kawasan ini sangat subur sehingga masyarkat bisa bertani dan memperoleh lahan
pertanian yang bisa memberikan hasil memuaskan. Di pusat Pemerintahan Kerajaan
yang baru ini juga dibangun pula masjid dan pemakaman Sultan beserta
keluarganya di dekat istana tersebut.
Berdasarkan kebijakan yang
dikeluarkan oleh Sultan Zainal Abidin
maka orang-orang Solok yang menetap di Banua Berau ini diijinkan mendirikan
kampung di Tabbangan sementara orang-orang Tidung dari Bulungan membuat kampung
di Pariban.
Masa pemerintahan Sultan Zainal
Abidin berakhir pada tahun 1800. Ketika beliau wafat Sultan Zainal Abidin dimakamkan di kompleks pemakaman dekat masjid
yang dibangun pada masa pemerintahannya
di Muara bangun dan Selanjutnya
disebut Marhum di Bangun. Makam beliau dikeramatkan dan sering diziarahi.
Pengangkatan Sultan Badaruddin dari
keturunan Pangeran Dipati menjadi raja yang ke-15 membuat keturunan Pangeran
Tua tersinggung, karena seharusnya yang menjadi raja berimkutnya adalah dari
keturunan Pangeran Tua.
Atas kesepakatan pihak Pangeran Tua
mereka memisahkan diri dan kemudian mengangkat raja sendiri dari keturunan
mereka. Sebagi raja pertama diangkat Aminuddin sebagai Sultan dengan gelar Raja
Alam pada tahun 1810.
Raja Alam memerintah selama 42 tahun sejak tahun
1810-1852. Permaisurinya adalah Andi Mantu putri Sultan Wajo dari Sulawesi
Selatan. Selama pemerintahannya Raja Alam membangun Istana di Wilayah Gayam
Tanjung Redeb yang berseberangan dengan pusat kerajaan Gunung Tabur.
Adapun Raja Kerajaan Gunung Tabur pada saat
itu diperintah oleh Sultan Badaruddin. Sejak diperintah oleh Raja Alam,
kerajaan Berau secara resmi terbagi
menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan kesultanan Sambaliung.
[1] Drs. H.
Achmad Maulana,Sejarah Daerah Berau, Tanjung redeb, 2001, hal. 4
(Sumber: Maulana, Achmad.
2001.Sejarah Daerah Berau. Tanjung
Redeb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar